Langsung ke konten utama

Menakar Keterbukaan Media Sebagai Penyedia Informasi di Masyarakat.

OPINI-Adhe Junaedi Sholat

“Media harus dievaluasi agar tidak sekedar basa basi. Saatnya media terbuka dan transparan".

Akhir-akhir ini masyarakat diresahkan oleh penyebaran informasi yang tersebar luas di Internet, yang jika dicermati hanya sekadar basa basi tanpa didasari oleh fakta yang ada. Penyebaran informasi di negeri ini lambat laun mengalami fase kepudaran. Desain informasi yang syarat akan makna dan kebenaran, kini syarat akan kepalsuan yang didasarkan akan kepentingan yang tiada batas.

Para penyebar informasi palsu tak mengenal ruang. Ujaran fitnah dan isu SARA kian hari semakin membludak dan mengadu domba masyarakat. Oknum media sosial memanfaatkan situasi yang ada, yang sarat dengan perseteruan karena racun benci dan dendam, menambah kekacauan karena politisasi isu SARA. Jika ini terus dibiarkan dan menganggap masalah ini adalah hal yang biasa-biasa saja, maka nasib bangsa ini semakin mengerdil dan tidak mencerminkan bangsa yang menjunjung nilai-nilai keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran.

Evaluasi Informasi

Presiden Joko Widodo juga mengecam media atau situs yang dengan gamblang menyebar berita atau informasi palsu atau hoax. Ini pula yang menjadi alasan Presiden Joko Widodo menggelar rapat kabinet terbatas soal antisipasi perkembangan media sosial, Kamis, 29 Desember 2016. "Sebetulnya beliau itu sangat toleran terhadap dunia maya,” ucap Rudiantara (menteri komunikasi dan informatika) seusai rapat terbatas di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta. Tapi lama-lama tak nyaman dengan berita-berita tidak benar itu. “Ya, enggak bisa begini terus.” Rudiantara mengatakan itu untuk menjawab pertanyaan mengenai pendapat Presiden Jokowi soal berita-berita tidak benar yang beredar di media sosial saat ini. Presiden memerintahkan penegakan hukum yang tegas dan keras terhadap penyebar berita hoax. "Penegakan hukum harus tegas dan keras. Dan kita harus evaluasi media-media Online yang sengaja memproduksi berita-berita bohong tanpa sumber yang jelas, dengan judul yang provokatif, dan mengandung fitnah," ujar Presiden saat membuka sidang kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis 29 Desember. (Tempo. Co)

***

Dari sisi Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rudiantara mengatakan penapisan akan dilakukan lebih cepat lagi. Sedangkan dari sisi penegakan hukum sudah berjalan dengan baik. Rudiantara mencontohkan orang-orang yang sudah diproses hukum karena dugaan menyebarkan berita hoax. "Kan, sudah ada yang dipanggil. Orang kadang enggak kapok kalau enggak dipanggil," katanya. Proses hukum atas penyebar berita hoax bisa dilakukan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan pasal menebar kebencian. "ITE itu kebetulan di dunia maya, tapi substansinya kan bisa tidak di dunia maya," ucapnya. (Tempo. Co)

Apa yang disampaikan presiden Joko Widodo adalah bukti bahwa bangsa ini sangat serius melawan penyebaran informasi hoax yang akhir-akhir ini meresahkan masyarakat. Berbagai cara dan usaha akan ditempuh demi mengembalikan ideologi bangsa. Perlu tindakan yang tegas dalam memberantas media yang sengaja menyebar luaskan informasi palsu ke masyarakat. Ketegasan merupakan salah satu syarat utama bagi penentu kebijakan ataupun penegak hukum, karena tanpa adanya ketegasan mustahil hukum bisa ditegakkan, dan jika penegakan hukum tidak bisa diwujudkan, maka kekacauan akan terjadi di wilayah itu.

Dalam pandangan pengamat media sosial Nukman Luthfie, hoax adalah representasi dari kehidupan sehari-hari dan bukan sesuatu yang baru. Keberadaan media sosial, membantu hoax menyebar lebih masif. Kenapa? Karena yang menyebarkan pada umumnya tak tahu kalau itu hoax. Ada juga yang tahu, tapi menyebarkannya dengan tujuan tertentu, itu juga ada. Nukman mencatat setidaknya ada tiga hal yang membuat hoax ramai berseliweran di media sosial. Pertama, rata-rata orang tidak bisa membedakan mana berita benar dan mana yang bohong. Riset terbaru di AS, 80% pelajar AS tidak bisa bedakan mana berita benar, advertorial, dan hoax. Indonesia kurang lebih seperti itu, dengan tingkat Literasi internet kita yang di bawah AS. Kedua, di media sosial, orang cenderung tidak membaca isi sebuah artikel. Kecenderungan orang di media Online akan membaca dengan cepat dan sekilas untuk segera mendapat kesimpulan. (Edisidumai.com)

***

Menurut hemat penulis, sejalan dengan penguatan ideologi kebangsaan. Penulis juga menambahkan penyebaran informasi palsu didukung dengan situasi panas seperti Pilkada yang tidak lama lagi akan digelar serentak di Indonesia, juga dugaan penistaan agama yang dilakukan gubernur non aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah di era Jokowi yang dirasa tidak pro terhadap rakyat. Hal-hal inilah yang menjadi rujukan terhadap penyebaran informasi yang dapat menimbulkan fitnah atau pun tuduhan isu SARA. Maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah; Pertama, negeri ini harus menghadirkan keteladanan penggunaan media sosial. Keteladanan penggunaan media sosial yang sehat, aktual dan faktual.

Kedua, semua media baik media elektronik dan cetak diharapkan lebih transparan dalam mengelola berita atau informasi yang ada. Artinya media yang transparan akan membangun kepercayaan publik sehingga jauh dari fitnah. Media jangan hanya reaktif atas ujaran kebencian, melainkan juga mampu mereformasi pemanfaatan media sebagai wadah berita dan informasi.

Selanjutnya, penegakan hukum kepada oknum yang dengan sengaja menyebarkan berita atau informasi hoax harus jelas dan tidak multitafsir. Sebab tidak bisa kita pungkiri, ramai media sosial digunakan untuk fitnah, intimidasi dan berita bohong (hoax). Oleh karena itu penegak hukum harus tegas menindak pelaku cyber crime.

Merawat Informasi

 Akibat penyebaran berita hoax  yang berlebihan, isu SARA pun menjadi saran empuk oknum fanatik. Media sosial ibarat arena pertarungan binatang buas. Saling melukai perasaan, menyinggung SARA dan tidak sedikit menyatakan perang pada kolom-kolom tertentu. Inikah wajah Pancasila kita? Hakikat kebangsaan Indonesia adalah suatu kesatuan dalam keragaman (Bineka Tunggal Ika). Indonesia adalah rumah, tempat berteduhnya keberagaman. Indonesia bukan Islam, bukan Kristen, bukan Hindu atau Budha. Indonesia adalah kita.

Jika upaya meningkatkan kualitas pemberitaan oleh media tidak mampu lagi dilakukan, maka segala fitnah, intimidasi, dan isu SARA akan sering kita jumpai di mana-mana. Sekecil apapun gangguan yang dapat mengancam keutuhan bangsa, harus ditindak tegas. Indonesia bukan untuk di adu domba atau bukan milik mereka yang anti Pancasilais.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gedung Baru Harapan Baru

Gedung Baru Harapan Baru Gambar diambil dari Washilah.com “semoga euforia ini menjadi pemicu untuk meningkatkan kualitas seorang mahasiswa dan alumni UIN Alauddin” Para mahasiswa, guru besar, pejabat universitas dan pegawai/dosen boleh tersenyum bangga. Karena hiruk-pikuk persiapan penyambutan kedatangan Wakil Presiden H. M Jusuf Kalla bulan lalu, terbilang sukses di mata mereka. Tanpa membahas lebih jauh, yang pasti sambutan/orasi ilmiah Pak Jusuf Kalla mengobati rasa rindu mahasiswa UIN Alauddin akan sosok orang penting di Indonesia. Sebab, rupanya sudah lama Universitas tercinta ini tidak masuk dalam daftar kunjungan Presiden atau Wakil Presiden ketika salah satunya sedang berkunjung ke Sulawesi Selatan.  Pagar, trotoar, jalanan dan yang lainnya didandani seindah mungkin. Umbul-umbul menari-nari ditiup angin. Termasuk sterilisasi gedung Auditorium oleh Pasukan Pengamanan Wakil Presiden. Sayangnya, hari itu seluruh kegiatan perkuliahan sengaja diliburkan, sehingga han

PEREMPUAN: BANYAK AKAL BANYAK JURUS

PEREMPUAN: BANYAK AKAL BANYAK JURUS Sesulit-sulitnya jadi (maha) siswi, ia selalu punya cara untuk bermain curang dan bahagia selanjutnya. (Maha) siswi juga bebas gosip sana-sini, membicarakan sesama teman perempuan maupun laki-laki, bebas mengeluh apa saja sama dosen dan di akun media sosial pribadinya, dan tetap merasa benar di kemudian hari.  Bagaimana dengan (maha) siswa? Tentu tidak bisa begitu. Ruang gerak laki-laki sungguh terbatas. Pihak birokrasi tentu akan segera memblok akun sosial media (maha) siswa yang nyinyir-nyinyir apalagi joget-joget di ruang jurusan terlebih talekang . Meski begitu, dari sepengetahuan teman, saya cukup tegar menghadapi kenyataan bahwa (maha) siswi dan (maha) siswa begitu dibedakan dalam hal mencuri hati birokrasi. (Maha) siswa yang tidak ber IPK tinggi dan tidak pandai melempar gagasan apa pun jika diskusi berlangsung di kelas, barangkali ditakdirkan dengan kesialan se-sial-sialnya (maha) siswa. Demi penjual ‘ pop-ais ’ saya yakin,