PEREMPUAN: BANYAK AKAL BANYAK JURUS
Bagaimana dengan (maha) siswa? Tentu tidak bisa begitu. Ruang gerak laki-laki sungguh terbatas. Pihak birokrasi tentu akan segera memblok akun sosial media (maha) siswa yang nyinyir-nyinyir apalagi joget-joget di ruang jurusan terlebih talekang. Meski begitu, dari sepengetahuan teman, saya cukup tegar menghadapi kenyataan bahwa (maha) siswi dan (maha) siswa begitu dibedakan dalam hal mencuri hati birokrasi.
(Maha) siswa yang tidak ber IPK tinggi dan tidak pandai melempar gagasan apa pun jika diskusi berlangsung di kelas, barangkali ditakdirkan dengan kesialan se-sial-sialnya (maha) siswa. Demi penjual ‘pop-ais’ saya yakin, mereka tidak akan mendapat pelayanan birokrasi kelas VVIP seperti (maha) siswi yang lainnya dapatkan.
Sebaliknya (maha) siswa yang punya IPK tinggi dan pandai berbicara ke sana ke mari juga saya ragukan dapat mengalahkan (maha) siswi dalam hal spesies paling eksis di kampus. Tetap saja, yang berhak meramaikan ruang jurusan, akademik dan ruang penting lainnya dengan wajah pas-pasan, bisa pamer totebag KW 11, posting tautan-tautan semacam “doa untuk calon jodohku”, serta panduan hidup mutakhir ala-ala akun tausiah, adalah kita semua, wahai kaum (maha) siswi yang tak pernah salah dan tak mau disalahkan!
Saya pribadi sebenarnya termasuk orang yang males dengan istilah feminis, maskulinis dan is-is lainnya. Belum lagi segala macam jenisnya, mulai dari feminis pencinta lingkungan, feminis sosialis, hardcore feminist, feminis radikal, dan banyak lagi. Kebanyakan label, terlalu di sloganisasi, tapi ujung-ujungnya cuma sibuk meneguhkan posisi, perang gosip, berkutat pada definisi, hingga akhirnya berantem antar sesama sana-sini.
Apa dan siapa yang harus dilayani/dibela? Nggak jelas. Lihat aja di kampusku (maha) siswi bebas tuh ke sana ke mari, nyinyir sana-sini giliran draft ditolak rame-rame mejeng di pelataran fakultas lalu nangis curhat aku abis dianiaya laki-laki dengan kekerasan batin dan penolakan tidak manusiawi. Dasar laki-laki, Nah loh? Siapa yang berlagak centil? Jijik.
Tapi, barangkali ada juga para feminis yang suci sejak dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Meski, tentu saja, akan ada yang akan memandang sederhana perbuatan mereka: “Biasa aja keleus, kalau gitu aja gue bisa!"
Yakin bisa? Merubah perilaku yang dibentuk sedari dini bukan perkara sederhana. Di Desa-desa provinsi Anda barangkali kurang dari 10 KM dari rumah Anda gadis-gadis desa yang tidak disekolahkan orang tuanya adalah fakta bagaimana gadis-gadis dididik untuk tetap menjaga feminismenya yang suci.
Sista. Lihatlah, walaupun Anda punya banyak majalah wanita, yang isinya tak jauh dari iklan kosmetika, fashion, dan ramalan asmara. Jika pun ada tulisan, palingan cuma tips tentang cara memilih tukang sulam bibir atau cara bergaul yang baik, bukan tentang apa yang penting diobrolkan dalam pergaulan.
Berbeda jauh dengan ungkapan Soleh Solihun di majalah Playboy atau Rolling Stone. Perempuan, di tengah gemerlap zaman kebebasan, tanpa sadar tetaplah terpingit oleh hal-hal artifisial. Istilah yang juga saya belum ketahui.
Itulah pasal mengapa di mana pun (maha) siswi atau lebih tepatnya disebut perempuan bebas mengeksploitasi segala sumber kepentingan banyak orang. Kata “cantik” atau “seksi” selalu menjadi identitas tentang perempuan baik yang syar’i maupun yang berbikini di birokrasi. Padahal perempuan seharusnya menyandang identitas “cerdas”, “bijak”, dan lainnya.
Persoalannya, menjadi cerdas, bijak, apa lagi bercita-cita jauh mencapai derajat itu soal kemauan untuk membuka akal sehat yang sudah dititipkan Tuhan kepada manusia.
Sukinah, perempuan pemimpin pergerakan tolak tambang semen di Rembang sana barangkali tak pernah sekolah. Tapi akal sehatnya terus diasah lewat kesadaran pancaindranya bersama alam. Yu Sukinah pasti tidak pernah update status berisi analogi menggelikan tentang perempuan-perempuan yang belum berjilbab setara buah busuk yang dikerubut lalat. (Sumber. Google)
Setelah semua uraian panjang lebar omong kosong ini, masihkah Anda menganggap para perempuan (penggerak itu) biasa-biasa saja? Barangkali sist-sist sekalian perlu membaca "Cantik Itu Luka" novel karya Eka Kurniawan yang menyadarkan kita bahwa seorang keluarga pelacur lebih mendapat tempat di sisi Tuhan ketimbang perempuan cetar cetir membahana maju mundur cantik, cantik. Istilah penyanyi pop Escetepe.
UINAM
September, 2017
Komentar
Posting Komentar