Langsung ke konten utama

Putri Desa


Cerpen oleh:
Adhe Junaedi Sholat

“Gadis cantik yang konon bukan wanita biasa itu bernama Siti”

Sebuah kisah tentang seorang pemuda miskin. Sepeninggal orang tuanya, ia hidup sebatang kara di sebuah gubuk tempat ia menunggui kebun. Di usianya yang sudah cukup matang, pemuda itu belum juga menikah sebab dalam impiannya, ia ingin menikah dengan seorang wanita yang parasnya secantik bidadari seperti yang selalu ia dengar dalam dongeng yang diceritakan almarhum Ibunya.
Pagi yang cerah, pemuda itu pergi ke kebun untuk melihat beberapa tanaman bunga yang ia tanam tempo hari.  Terutama tanaman bunga Krisan yang memang selalu ia jaga. Sebab, bunga itu tumbuh di dekat sebuah sumur dalam area kebun miliknya. Bunga Krisan tersebut tidak pernah ada yang memetik kecuali daun dan bunganya gugur sendiri di makan waktu.
Sore menjelang, langit tampak mendung.setelah bekerja seharian di kebun, pemuda itu berniat kembali ke gubuknya dan beristirahat, ia melihat kembali bunga Krisan untuk menyiramnya, namun alangkah terkejutnya tatkala mendapati bunga Krisannya tak satupun yang melekat pada tangkainya.
“Siapa gerangan yang berani memetik bunga Krisan ini?”. Ia menggerutu dalam hati. Pemuda itu pulang ke gubuknya dengan perasaan kesal.
Seminggu kemudian, ia baru kembali memeriksa bunga Krisannya, ia berpikir setelah seminggu pucuk bunga itu pasti telah tumbuh lagi. Tetapi, ia kembali dikejutkan oleh keadaan bunga Krisan yang hanya ada beberapa kuntum, yang melekat pada tangkai. Sementara banyak daun yang berguguran di bawahnya.

“Tidak salah lagi, pasti ada orang yang memetik bunga Krisanku. Awas! Besok akan kucari tahu siapa yang berani merusaknya”. Pemuda itu berlalu dengan kemarahan.

Esok hari, ia memilih untuk tidak bekerja di kebun seperti biasanya melainkan berjaga-jaga di sekitar sumur, tak jauh dari bunga Krisan tumbuh. Ia menutupi tubuhnya dengan daun-daun kelapa dan bersembunyi di balik tembok sumur, niatnya untuk mengintai siapa yang memetik bunganya. Rupanya dari pagi hingga sore hari tak ada tanda-tanda bahwa ada orang yang mendekati tangkai Krisan itu.
Karena lelah menunggu, ia tertidur pulas. Tiba-tiba aroma semerbak menusuk indera penciumannya, bau yang sangat harum itu semakin kental dan semakin mendekat. Begitu ia membuka mata ia terperangah  melihat  tujuh wanita cantik dengan pakaian berwarna putih sedang duduk bercanda ria di area sumur sambil memetik bunga Krisan yang masih tersisa beberapa kuntum di tangkainya.
“Bukankah ini para bidadari? Wajahnya sangat cantik dengan tubuhnya menyebarkan wangi. Persis seperti apa yang diceritakan Ibu”. Pemuda itu semakin terbelalak melihat gadis-gadis cantik itu ketika membuka pakaiannya kemudian mandi di sumur. Secara refleks, pemuda itu kemudian mengambil salah satu pakaian mereka  yang ia tanggalkan.
“ Saya mencium bau manusia di sekitar sini Dinda, cepat kenakan pakaian kalian! Kita harus segera pergi dari sini sebelum matahari tenggelam”. Seru salah satu dari gadis itu.
“Di mana pakaianku, Ayunda? Aku tak menemukan pakaianku”. Gadis yang tampak paling muda di antara ketujuh gadis itu panik.
“Apa yang terjadi Dinda? Di mana pakaianmu?”. Semuanya ikut panik, sementara si pemuda terus mengintai di balik daun-daun kelapa.
“Kami tak bisa menunggu Dinda, kami harus segera pulang ke istaa kerajaan sebelum matahari tenggelam. Carilah pakaianmu! Ketika kau menemukannya, kembalilah! Jaga dirimu!”. Ke enam gadis itu tiba-tiba menghilang entah ke mana. Sementara, gadis yang kehilangan pakaiannya itu hanya bisa meratapi nasibnya. Pemuda yang dari tadi menyaksikan kejadian itu menghampirinya, kemudian mengembalikan pakaiannya dengan syarat gadis itu bersedia menjadi istrinya dan tinggal di desa tempat pemuda itu tinggal.

Singkat cerita
Gadis cantik yang konon bukan wanita biasa itu bernama Siti, ia mengiyakan dan menikah dengan pemuda dan dikaruniai seorang anak laki-laki, mereka hidup rukun dan bahagia. Suatu hari ketika pemuda tersebut pergi ke kebun seperti biasanya. Dalam perjalanan ke kebun, ia bertemu dengan temannya yang juga sedang menuju kebun dan berkata.
“Suara istrimu kalau sedang menyanyi sangatlah merdu, barusan aku mendengarnya ketika sedang melewati rumahmu”.
“Benarkah? Aku tak pernah mendengarnya menyanyi sebelumnya”. Jawab si pemuda.
Sesampainya di rumah. Ia segera meminta istrinya untuk bernyanyi namun istrinya menolak untuk melakukannya. Tetapi pemuda itu terus memaksa.
“Baiklah, tapi dengan satu syarat. Kita berdua masuk ke dalam sarung, kemudian ujungnya diikat, barulah aku akan menyanyi. Dan mulai besok pagi juga sore hari, angkatlah seember air ke atap”. Pinta istrinya.
Pemuda itupun menyanggupi, kemudian melakukan syarat yang diminta istrinya untuk masuk ke dalam sarung. Terdengarlah suara merdu iastrinya mengalun hingga sang suami tertidur. Esok pagi ketika terbangun, istinya telah menghilang. Ia sudah mencari ke mana-mana tapi istrinya benar-benar telah menghilang tanpa jejak.
Amanah istrinya tetap ia jalankan. Setiap pagi dan sore hari ia menyimpan seember air di atas atap dan membawa anaknya. Setiap pagi dan sore hari terdengar air tumpah. Konon setiap hari istrinya datang untuk memandikan dan menyusui anaknya di atap rumah tapi sosoknya tidak tampak oleh mata.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menakar Keterbukaan Media Sebagai Penyedia Informasi di Masyarakat.

OPINI-Adhe Junaedi Sholat “Media harus dievaluasi agar tidak sekedar basa basi. Saatnya media terbuka dan transparan". Akhir-akhir ini masyarakat diresahkan oleh penyebaran informasi yang tersebar luas di Internet, yang jika dicermati hanya sekadar basa basi tanpa didasari oleh fakta yang ada. Penyebaran informasi di negeri ini lambat laun mengalami fase kepudaran. Desain informasi yang syarat akan makna dan kebenaran, kini syarat akan kepalsuan yang didasarkan akan kepentingan yang tiada batas. Para penyebar informasi palsu tak mengenal ruang. Ujaran fitnah dan isu SARA kian hari semakin membludak dan mengadu domba masyarakat. Oknum media sosial memanfaatkan situasi yang ada, yang sarat dengan perseteruan karena racun benci dan dendam, menambah kekacauan karena politisasi isu SARA. Jika ini terus dibiarkan dan menganggap masalah ini adalah hal yang biasa-biasa saja, maka nasib bangsa ini semakin mengerdil dan tidak mencerminkan bangsa yang menjunjung nilai-nilai keadilan,

Gedung Baru Harapan Baru

Gedung Baru Harapan Baru Gambar diambil dari Washilah.com “semoga euforia ini menjadi pemicu untuk meningkatkan kualitas seorang mahasiswa dan alumni UIN Alauddin” Para mahasiswa, guru besar, pejabat universitas dan pegawai/dosen boleh tersenyum bangga. Karena hiruk-pikuk persiapan penyambutan kedatangan Wakil Presiden H. M Jusuf Kalla bulan lalu, terbilang sukses di mata mereka. Tanpa membahas lebih jauh, yang pasti sambutan/orasi ilmiah Pak Jusuf Kalla mengobati rasa rindu mahasiswa UIN Alauddin akan sosok orang penting di Indonesia. Sebab, rupanya sudah lama Universitas tercinta ini tidak masuk dalam daftar kunjungan Presiden atau Wakil Presiden ketika salah satunya sedang berkunjung ke Sulawesi Selatan.  Pagar, trotoar, jalanan dan yang lainnya didandani seindah mungkin. Umbul-umbul menari-nari ditiup angin. Termasuk sterilisasi gedung Auditorium oleh Pasukan Pengamanan Wakil Presiden. Sayangnya, hari itu seluruh kegiatan perkuliahan sengaja diliburkan, sehingga han

PEREMPUAN: BANYAK AKAL BANYAK JURUS

PEREMPUAN: BANYAK AKAL BANYAK JURUS Sesulit-sulitnya jadi (maha) siswi, ia selalu punya cara untuk bermain curang dan bahagia selanjutnya. (Maha) siswi juga bebas gosip sana-sini, membicarakan sesama teman perempuan maupun laki-laki, bebas mengeluh apa saja sama dosen dan di akun media sosial pribadinya, dan tetap merasa benar di kemudian hari.  Bagaimana dengan (maha) siswa? Tentu tidak bisa begitu. Ruang gerak laki-laki sungguh terbatas. Pihak birokrasi tentu akan segera memblok akun sosial media (maha) siswa yang nyinyir-nyinyir apalagi joget-joget di ruang jurusan terlebih talekang . Meski begitu, dari sepengetahuan teman, saya cukup tegar menghadapi kenyataan bahwa (maha) siswi dan (maha) siswa begitu dibedakan dalam hal mencuri hati birokrasi. (Maha) siswa yang tidak ber IPK tinggi dan tidak pandai melempar gagasan apa pun jika diskusi berlangsung di kelas, barangkali ditakdirkan dengan kesialan se-sial-sialnya (maha) siswa. Demi penjual ‘ pop-ais ’ saya yakin,