Langsung ke konten utama

Salah dua penulis yang paling saya cintai karya-karyanya.



Foto diambil beberapa bulan yang lalu dari akun Twitter Aan Mansyur @hurufkecil.

Salah dua penulis yang paling saya cintai karya-karyanya.

Joko Pinurbo (kanan) lahir di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962 adalah salah satu sastrawan hebat yang dimiliki Indonesia. Karya-karya puisinya merupakan perpaduan antara naratif, ironi refleksi diri, dan kadang mengandung unsur "kenakalan". Saya sering membaca puisinya (dari buku dan media sosial).

Mei kemarin, ia berkunjung ke Makassar untuk hadir di acara tahunan para penulis-penulis hebat (MWIF) di Roterdam (2017). Saya amat menyesal tidak bisa hadir di sana, untuk sekadar melihat pertujukan beliau membacakan beberapa puisinya atau bahkan lebih hebatnya dapat berdiskusi dengannya. Dan meski begitu, antusias saya untuk selalu ingin bertemu dengan beliau tidak pernah surut dan menantikan setiap karya-karyanya selalu.

M Aan Mansyur (kiri) lahir di Kab. Bone, Sulawesi Selatan, 14 Januari 1982. Penulis yang satu ini dikenal sangat "rumit dan sesedarhana itu" katanya. Selain menulis ia juga hobi memotret. Aan, begitu ia disapa juga aktif di berbagai komunitas di Makassar, salah satunya komunitas yang ia dirikan bersama kawan-kawannya semasa masih aktif kuliah di Universitas Hasanuddin dan masih aktif sampai sekarang---komunitas itu diberi nama Inninawa. Beliau juga bekerja sebagai pustakawan di Kata Kerja. Salah satu perpustakaan rumahan yang bertempat di BTN Wesabbe, Tamalanrea dan saya sudah pernah ke sana. Penulis berdarah Bugis ini telah melahirkan beberapa buku, sebut saja: Kukila, Melihat Api Bekerja, Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi, Tidak Ada New York Hari Ini, Cinta yang Marah dan masih banyak lagi.

Saya sudah beberapa kali bertemu dan berdiskusi dengannya (meski sekarang barangkali beliau sudah lupa). Pernah sekali ia berkunjung ke kampus tempat saya kuliah, untuk menjadi salah satu pengisi acara Talk Show "Budaya Literasi Kita" yang diselenggarakan oleh UKM LIMA UIN Alauddin Makassar, bersama beberapa orang-orang hebat, sebut saja; Dr. Moh. Sabri Ar, Alwy Rachman, Prof Qasim Mathar, Arief Balla dan Ruslan.

Sebelum acara dimulai saya menghampiri Aan di sudut ruangan Auditorium sedang duduk sendiri (dibaca, jongkok) dan menghabiskan sebatang rokok, saya lalu menghampiri dan kemudian menyapanya*


Foto lain diambil dari kamera ponsel beliau beberapa bulan yang lalu, bertempat di Rumata Art Space.



Makassar, pertengahan Okbtober 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menakar Keterbukaan Media Sebagai Penyedia Informasi di Masyarakat.

OPINI-Adhe Junaedi Sholat “Media harus dievaluasi agar tidak sekedar basa basi. Saatnya media terbuka dan transparan". Akhir-akhir ini masyarakat diresahkan oleh penyebaran informasi yang tersebar luas di Internet, yang jika dicermati hanya sekadar basa basi tanpa didasari oleh fakta yang ada. Penyebaran informasi di negeri ini lambat laun mengalami fase kepudaran. Desain informasi yang syarat akan makna dan kebenaran, kini syarat akan kepalsuan yang didasarkan akan kepentingan yang tiada batas. Para penyebar informasi palsu tak mengenal ruang. Ujaran fitnah dan isu SARA kian hari semakin membludak dan mengadu domba masyarakat. Oknum media sosial memanfaatkan situasi yang ada, yang sarat dengan perseteruan karena racun benci dan dendam, menambah kekacauan karena politisasi isu SARA. Jika ini terus dibiarkan dan menganggap masalah ini adalah hal yang biasa-biasa saja, maka nasib bangsa ini semakin mengerdil dan tidak mencerminkan bangsa yang menjunjung nilai-nilai keadilan,

PEREMPUAN: BANYAK AKAL BANYAK JURUS

PEREMPUAN: BANYAK AKAL BANYAK JURUS Sesulit-sulitnya jadi (maha) siswi, ia selalu punya cara untuk bermain curang dan bahagia selanjutnya. (Maha) siswi juga bebas gosip sana-sini, membicarakan sesama teman perempuan maupun laki-laki, bebas mengeluh apa saja sama dosen dan di akun media sosial pribadinya, dan tetap merasa benar di kemudian hari.  Bagaimana dengan (maha) siswa? Tentu tidak bisa begitu. Ruang gerak laki-laki sungguh terbatas. Pihak birokrasi tentu akan segera memblok akun sosial media (maha) siswa yang nyinyir-nyinyir apalagi joget-joget di ruang jurusan terlebih talekang . Meski begitu, dari sepengetahuan teman, saya cukup tegar menghadapi kenyataan bahwa (maha) siswi dan (maha) siswa begitu dibedakan dalam hal mencuri hati birokrasi. (Maha) siswa yang tidak ber IPK tinggi dan tidak pandai melempar gagasan apa pun jika diskusi berlangsung di kelas, barangkali ditakdirkan dengan kesialan se-sial-sialnya (maha) siswa. Demi penjual ‘ pop-ais ’ saya yakin,

Kiat mudah (meski tidak mudah-mudah amat) mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah

Jika ada orang yang mengatakan "Rejeki sudah ada yang atur", itu sepenuhnya tidak salah, karena yang mengatur adalah Anda sendiri.  Jaman sekarang tidak usah terlalu berharap mau mendapat pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikan (ijazah) kalau kenyataannya memang Anda tidak ahli di bidang itu. Nilai bisa bohong, pengetahuan tidak. Kalau pun ada yang mendapat pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikannya (ijazahnya), dan mungkin Anda salah satunya. Saya ucapkan selamat.  Tetapi jika Anda masih berpikir Anda harus bekerja sesuai dengan Ijazah? Anda salah. Menurut pengamatan, latar belakang pendidikan bukan lagi syarat utama untuk bekerja di satu instansi. Bukan maksud merendahkan, seolah kuliah bertahun-tahun tidak punya arti sama sekali selain hanya untuk mendapat selembar ijazah. Misalnya, dulu Anda kuliah jurusan A, tetapi malah diterima bekerja di bidang E. Tidak salah, syukur. Pencari tenaga kerja memang tidak menanyakan apa agamamu , eh maksud