Langsung ke konten utama

Kuliah 4 Tahun, Sungguh Menguras Tenaga dan Dompet

"I think everyone should go to college and a degree and theb six months as a bartender and six months as a cabdriver. Then they would really be educated." ~ Al McGuire.


Kehidupan terkadang laiknya adalah sebuah teka teki, kita mesti memecahkan segala teka teki tersebut untuk tetap bertahan hidup atau paling tidak lanjut ke teka teki berikutnya, terus begitu dan akan selalu begitu. Dan, Karena kita terlalu sering menganggap kehidupan itu mudah, pada akhirnya, kita tidak melakukan apa-apa dan buruknya tidak merasa bersalah karena tidak melakukan apa-apa. Mungkin sedikit bersalah, tetapi kemudian kita teringat masih ada Ayah dan Ibu. "O, sungguh, merekalah pahlawan yang dapat menolongku dan melepaskan segala bebanku dari rasa bersalah." Tapi, sampai kapan? Tanyaku pada diri sendiri.

Anak adalah kado terindah bagi orang tua, yang diberikan Tuhan Maha Esa. Orang tua punya tanggung jawab penuh dalam membesarkan dan mendidik anak hingga dewasa. Menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi, misalnya. Meski dengan cara tersebut, juga punya bahayanya sendiri. Setelah dibesarkan dan di sekolahkan dari SD hinga ke perguruan tinggi, pola pikir anak akan berubah, dari yang dulunya nurut lalu menjadi tidak nurut. Anak akan terbebani, jika kenyataannya anak tidak mampu memberikan apa yang diharapkan oleh orang tua atas apa yang telah diberikan orang tuanya selama ini. Karena begitu, anak takut meraih gelar apapun.

***

Hanya berselang seminggu saja paska peringatan ulang tahun ke-72 Republik Indonesia, lalu. Kini, kebahagiaan itu berlanjut sampai sekarang, bukan lagi tentang Dirgahayu Republik Indonesia, melainkan kawan saya hari ini telah mengakhiri masa kuliahnya dengan menyabet gelar Sarjana Ekonomi (disingkat S.E) terfavorit versi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam. Saya turut merayakan dan juga ikut dalam euforia ini. Meski sebenarnya bukan saya tokoh utamanya. Tetapi, apa yang lebih menyenangkan selain melihat kawan-kawan kita bahagia? Atau melihat saya bersedih?

***

Menjalani kuliah kurang lebih 4 tahun, benar-benar menguras tenaga dan dompet. Tetapi, apa yang ia tanam, kini ia tuai kembali dengan hasil yang dari dulu diharapkan dan tentu membuat keluarga khususnya orang tua bangga. Memang benar, proses tak akan pernah mengkhianati hasil. Dan begitulah (semestinya) kehidupan bekerja.


(Gambar diambil dari kamera ponsel Samsung J7)

Bahagia. Begitulah yang sekarang dirasakan oleh Eti Rahayu Putri dan beberapa kawan lainnya. Eti (22), Ia lahir di Desa Balong. Kec. Ujung loe Kab. Bulukumba. Perempuan berdarah Bulukumba ini memang dikenal sebagai perempuan petarung di kampus. Selain itu, ia juga dikenal sebagai perempuan yang istilah orang Makassar dikenal dengan kata calleda dudu (dibaca, cantik).

Di balik tingkahnya itu, ia adalah sosok yang paling menginspirasi, bagaimana tidak, ia adalah salah satu mahasiswi terbaik di jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Segala macam prestasi sudah ia toreh. Baik dari dalam kampus maupun dari luar kampus. Dan, kita sebagai mahasiswa UIN Alauddin Makassar seharusnya bangga dengan beliau. Luar biasa kan? Hanya saja saat ini Eti belum punya kekasih.

O, tidak, saya salah, Eti rupanya telah menganggap sahabat-sahabatnya adalah kekasih terbaik yang pernah ia punya.


(Gambar diambil dari kamera ponsel Samsung J7)


Setelah cukup lama mengenal Eti sejak semester awal hingga ia akan lulus, saya teringat oleh kisah dalam cerpen yang pernah saya baca, berjudul "The queen of spades" yang ditulis oleh penulis asal Rusia Aleksandr Pushkin (1799-1837). Cerpen itu menceritakan tentang intrik yang bersifat romantisme. Dalam cerpen itu diceritakan seorang tokoh utama yang bernama Hermann, seorang lelaki muda keturunan Rusia-Jerman, yang tidak pernah mau bermain kartu dan memilih hanya menjadi penonton. Namun dalam hati kecilnya, ia ingin bermain kartu, paling tidak sekali seumur hidup. Hermann adalah orang yang tidak mau kalah. Berjudi adalah perihal peluang. Kalah atau menang. Dan hebatnya setiap kali ia bermain ia pasti menang. Kira-kira Eti sosok seperti itu.

 

(Gambar diambil dari kamera ponsel Samsung J7)

Kini Eti telah menyelesaikan kuliahnya, dalam waktu dekat ini ia akan di wisuda, tepatnya di bulan September nanti. Dan, bayang-bayang mengenai masa depannya kembali terbuka. Ia tampaknya sudah siap bermain teka teki lagi. Bagaimanakah perjalanan Eti berikutnya? Kita sama-sama nantikan saja. Sekali lagi, selamat buat gelar barunya. Semoga apa yang sudah didapatkan bukan akhir dari segalanya. Perjalanan masih panjang, dan kisah ini hanyalah langkah awal. Teruslah menuntut dan berbagi ilmu, hingga kematian menjemput saudari.



Salam.
Adhe Junaedi Sholat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menakar Keterbukaan Media Sebagai Penyedia Informasi di Masyarakat.

OPINI-Adhe Junaedi Sholat “Media harus dievaluasi agar tidak sekedar basa basi. Saatnya media terbuka dan transparan". Akhir-akhir ini masyarakat diresahkan oleh penyebaran informasi yang tersebar luas di Internet, yang jika dicermati hanya sekadar basa basi tanpa didasari oleh fakta yang ada. Penyebaran informasi di negeri ini lambat laun mengalami fase kepudaran. Desain informasi yang syarat akan makna dan kebenaran, kini syarat akan kepalsuan yang didasarkan akan kepentingan yang tiada batas. Para penyebar informasi palsu tak mengenal ruang. Ujaran fitnah dan isu SARA kian hari semakin membludak dan mengadu domba masyarakat. Oknum media sosial memanfaatkan situasi yang ada, yang sarat dengan perseteruan karena racun benci dan dendam, menambah kekacauan karena politisasi isu SARA. Jika ini terus dibiarkan dan menganggap masalah ini adalah hal yang biasa-biasa saja, maka nasib bangsa ini semakin mengerdil dan tidak mencerminkan bangsa yang menjunjung nilai-nilai keadilan,

PEREMPUAN: BANYAK AKAL BANYAK JURUS

PEREMPUAN: BANYAK AKAL BANYAK JURUS Sesulit-sulitnya jadi (maha) siswi, ia selalu punya cara untuk bermain curang dan bahagia selanjutnya. (Maha) siswi juga bebas gosip sana-sini, membicarakan sesama teman perempuan maupun laki-laki, bebas mengeluh apa saja sama dosen dan di akun media sosial pribadinya, dan tetap merasa benar di kemudian hari.  Bagaimana dengan (maha) siswa? Tentu tidak bisa begitu. Ruang gerak laki-laki sungguh terbatas. Pihak birokrasi tentu akan segera memblok akun sosial media (maha) siswa yang nyinyir-nyinyir apalagi joget-joget di ruang jurusan terlebih talekang . Meski begitu, dari sepengetahuan teman, saya cukup tegar menghadapi kenyataan bahwa (maha) siswi dan (maha) siswa begitu dibedakan dalam hal mencuri hati birokrasi. (Maha) siswa yang tidak ber IPK tinggi dan tidak pandai melempar gagasan apa pun jika diskusi berlangsung di kelas, barangkali ditakdirkan dengan kesialan se-sial-sialnya (maha) siswa. Demi penjual ‘ pop-ais ’ saya yakin,

Kiat mudah (meski tidak mudah-mudah amat) mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah

Jika ada orang yang mengatakan "Rejeki sudah ada yang atur", itu sepenuhnya tidak salah, karena yang mengatur adalah Anda sendiri.  Jaman sekarang tidak usah terlalu berharap mau mendapat pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikan (ijazah) kalau kenyataannya memang Anda tidak ahli di bidang itu. Nilai bisa bohong, pengetahuan tidak. Kalau pun ada yang mendapat pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikannya (ijazahnya), dan mungkin Anda salah satunya. Saya ucapkan selamat.  Tetapi jika Anda masih berpikir Anda harus bekerja sesuai dengan Ijazah? Anda salah. Menurut pengamatan, latar belakang pendidikan bukan lagi syarat utama untuk bekerja di satu instansi. Bukan maksud merendahkan, seolah kuliah bertahun-tahun tidak punya arti sama sekali selain hanya untuk mendapat selembar ijazah. Misalnya, dulu Anda kuliah jurusan A, tetapi malah diterima bekerja di bidang E. Tidak salah, syukur. Pencari tenaga kerja memang tidak menanyakan apa agamamu , eh maksud